Muslimahdaily - Anak dengan sikap kepolosannya dan kemurnian berpikirnya mampu menyerap informasi dan menjadi peniru yang baik. Setiap informasi yang ia terima saat ini baik sadar maupun bawah sadar dapat ia lakukan juga di kemudian hari. Termasuk berbohong.

Sosok pertama dan utama yang menjadi teladan anak adalah orangtua. Sehingga setiap sikap orangtua mempengaruhi sebagian besar sikap seorang anak. Maka tak heran timbul istilah ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’ karena saking identiknya.

Dalam hal ini, alasan anak berbohong hampir mirip seperti orang dewasa yang berbohong, yaitu ingin melindungi diri dan menjaga perasaan oranglain. Namun white lies yang dilakukan anak seringkali karena ia tidak bisa membedakan mana khayalan dan mana kebohongan.

Perilaku bohong dari anak dapat tumbuh subur apabila orangtua memperlakukannya dengan tidak baik seperti selalu mengomeli tanpa pernah memberi pujian dan memberi contoh kebohongan itu sendiri di depan sang anak. Mungkin banyak dari ummi yang ketika anaknya tidak mau tidur lantas membohonginya kalau tidak tidur maka ada hantu.

Awalnya si anak percaya namun lama kelamaan karena hal itu tidak terbukti maka ia akan memproses informasi “kebohongan tak sengaja” tersebut menjadi sesuatu yang diperbolehkan. Di kemudian hari ia akan mengaplikasikan kebohongan dalam bentuk yang lain.

Sikap Orangtua

Beberapa orangtua akan bersikap marah jika mengetahui anaknya berbohong. Tindakan punishment yang keras bukannya membuat anak jera, namun justru dapat memicu kemampuan berbohong anak meningkat supaya tidak ketahuan di waktu mendatang.

Sebaiknya sebagai orangtua, terutama ummi-lah yang paling dekat dengan anak, bersikaplah tenang. Tanggapi secara wajar dengan memberitahu bahwa bohong itu tidak boleh. Anak balita memang belum memahami konsep dosa dan moral, sehingga yang perlu dilakukan adalah melalui pendekatan verbal.

Ungkapkan saja ketidaksukaan pada anak yang berbohong seperti, “Ummi kecewa kalau kamu berbohong tentang siapa yang mecahin piring. Tapi ummi bangga kalau kamu mau jujur dan bersikap baik.”

Jangan Menge-judge

Jangan sekali-kali melabeli atau menge-judge anak dengan kata “pembohong”. Hal itu tidak lantas membuatnya menjadi baik, tapi justru mensugesti anak untuk tetap menjadi pembohong. Sama seperti saat anak nakal, jangan menyebutnya “nakal” kalau tidak ingin ia tetap nakal. Karena setiap kata mengandung do’a, hati-hati kalau berkata terhadap anak.

Memberi Contoh yang Baik

Ingat, setiap anak adalah peniru tangguh terhadap sikap orangtuanya baik yang mereka lihat maupun dengar. Oleh karenanya, ajari dengan memberi contoh yang baik. Contoh sekecil apapun misal mengancam anak yang tidak mau menghabiskan makan dengan kata-kata, “Ayo makannya dihabisin, nanti kalau gak habis rejekinya dipatok ayam, lho.”

Kebohongan sekecil ini tanpa ada bukti nyata maka akan memberi contoh kebohongan pada anak di kemudian hari. Tidak mungkin, kan, seekor ayam akan mematok rezeki. Balita juga belum bisa mendefinisikan apa itu rezeki.

Tanamkan Sejak Dini

Di masa modern ini, orangtua cenderung mencerdaskan inteligensi anak soal nilai akademik daripada sikap dan moral anak. Sebagai orang Indonesia dengan mayoritas muslim harusnya malu memiliki generasi “tidak jujur” dibandingkan negara Jepang yang rata-rata warganya jujur meski tidak beragama. 

Agama tidak salah, yang salah adalah cara penyampaian orangtua terhadap anak. Mereka rata-rata mengajarkan soal moral dan etika namun tidak dibarengi dengan contoh perilaku dari sikap yang baik dari orangtuanya sendiri.

Apresiasi kejujuran

Ini penting. Apabila anak berlaku jujur, sebaiknya apresiasi dengan sesederhana kalimat, “Ummi tahu bahwa berkata jujur itu sulit dan terkadang menyakitkan. Tapi ummi bangga kalau kamu mau jujur dan mengatakan sebenarnya.” Apresiasi kecil ini dapat memberi semangat untuk bersikap jujur.

Tak hanya itu, anak terkadang tanpa disadari merasa dalam hati, mengapa dirinya selalu dimarahi jika salah sementara jika ia berbuat baik malah disikapi biasa saja oleh orangtua. Sehingga apresiasi terhadap sikap jujur juga diperlukan demi mensugesti agar anak selalu bersikap baik.

Satu lagi yang terpenting, jangan sesekali membandingkan sikap dan perilaku anak terhadap anak lain atau saudaranya yang lain. Sama seperti orang dewasa, sikap membandingkan berarti tidak menghargai.