Muslimahdaily - Bagi masyarakat awam, gangguan bipolar sering disalahartikan sebagai perubahan suasana hati (mood swing) yang ekstrem. Namun, kondisi ini jauh lebih kompleks daripada sekadar merasa senang sesaat dan sedih di saat berikutnya. Gangguan bipolar secara fundamental mengubah cara seseorang berpikir, memproses informasi, dan memandang realitas.

Seorang psikiater dari Cleveland Clinic, Joseph B. Goldschmid, MD seperti dilansir dari laman thehealthy.com, menjelaskan bahwa gangguan bipolar menciptakan dua dunia kognitif yang sangat berbeda: episode mania (atau hipomania) dan episode depresi. Memahami pola pikir penderita bipolar dalam kedua fase ini adalah kunci untuk memahami pengalaman mereka secara utuh.

Saat Dunia Berlari Cepat: Pola Pikir dalam Episode Mania

Episode mania sering digambarkan sebagai perasaan euforia atau energi yang meluap-luap. Namun di dalam pikiran, kondisinya jauh lebih riuh. Dr. Goldschmid menggambarkannya sebagai "flight of ideas" atau banjir gagasan.

"Pikiran mereka melompat dari satu topik ke topik lain dengan sangat cepat," jelas Dr. Goldschmid.

Lompatan ini seringkali tidak logis bagi orang luar. Pikiran dapat terpicu oleh hal-hal sepele di lingkungan sekitar, rima kata (dikenal sebagai clang associations), atau permainan kata. Kecepatan berpikir ini seringkali melampaui kemampuan mereka untuk berbicara, membuat ucapan mereka terdengar cepat, tertekan, dan sulit diikuti.

Bersamaan dengan pikiran yang berlari kencang, muncul perasaan superioritas atau grandiositas. Penderita mungkin merasa memiliki kekuatan super, kecerdasan tak tertandingi, atau misi khusus untuk menyelamatkan dunia.

"Mereka mungkin merasa ditakdirkan untuk kebesaran," kata Dr. Goldschmid, seraya menambahkan bahwa ini dapat mengarah pada perilaku impulsif seperti menghabiskan uang secara berlebihan atau mengambil keputusan berisiko tinggi.

Saat Pikiran Meredup: Realitas Episode Depresi

Jika mania adalah dunia yang berlari kencang, episode depresi adalah kebalikannya. Pikiran tidak hanya menjadi negatif, tetapi juga melambat secara signifikan, sebuah kondisi yang disebut "psychomotor retardation".

Fase ini didominasi oleh apa yang disebut sebagai "tiga serangkai kognitif negatif":

Pandangan negatif terhadap diri sendiri ("Saya tidak berharga," "Saya gagal").

Pandangan negatif terhadap dunia ("Dunia ini tempat yang mengerikan").

Pandangan negatif terhadap masa depan ("Semua akan tetap seperti ini," "Tidak ada harapan").

Dr. Goldschmid menekankan bahwa ini bukan sekadar kesedihan biasa. Ini adalah perasaan putus asa, hampa, dan rasa bersalah yang mendalam. Berbeda dengan mania, di mana konsentrasi sulit karena terlalu banyak ide, dalam depresi, konsentrasi sulit karena pikiran terasa "macet" atau kosong.

Kehilangan minat pada hal-hal yang pernah dinikmati (anhedonia) adalah gejala inti. Pikiran tentang kematian atau bunuh diri juga sangat umum terjadi pada fase ini dan harus selalu ditanggapi dengan serius.

Lebih dari Sekadar "Mood Swing"

Dr. Goldschmid menegaskan bahwa gangguan bipolar adalah kondisi biologis yang memengaruhi regulasi suasana hati di otak. Ini bukanlah pilihan karakter atau kelemahan pribadi. Kondisi ini ada dalam sebuah spektrum, dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda untuk setiap individu.

Kabar baiknya, gangguan bipolar sangat dapat diobati. Kombinasi obat-obatan, seperti penstabil suasana hati (mood stabilizers), dan terapi, seperti Terapi Perilaku Kognitif (CBT), terbukti efektif membantu individu mengelola gejala dan menjalani kehidupan yang produktif.

Memahami bahwa gangguan bipolar memengaruhi isi dan kecepatan pikiran—bukan hanya emosi—sangat penting untuk mengurangi stigma. Ini adalah pergeseran realitas internal yang dialami seseorang, sebuah perjuangan yang membutuhkan pemahaman medis, bukan penghakiman.