Muslimahdaily - Akhirnya umat Muslim tiba di hari kemenangan setelah menempuh ibadah puasa selama 30 hari. Perayaan hari Idul Fitri ini disambut rasa penuh suka cita dengan gemuruh takbir, tahmid, dan tasbih.
Seusai menjalankan shalat Id, jamaah saling bertegur sapa dan saling bersalaman. Uniknya, momen Idul Fitri ini hanya dapat ditemukan di Indonesia saja.
Tradisi ini disebut dengan nama Halal bi Halal. Tentunya, tradisi Halal bi Halal memiliki asal muasal tersendiri sampai akhirnya melekat secara turun temurun. Terdapat tiga versi yang disebut menjadi awal mulanya kebiasaan ini.
Versi pertama, Halal bi Halal dimulai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau biasa dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Saat masa lampau, ia yang memimpin kota Surakarta.
Setelah shalat Id, para prajurit dengan tertibnya melakukan sungkeman kepada Raja. Hal tersebut bertujuan untuk menghemat biaya, tenaga dan waktu. Akhirnya, banyak organisasi Islam yang juga melakukan tradisi ini. Kebiasaan inilah yang melahirkan sebutan Halal bi Halal.
Kemudian versi selanjutnya datang dari seorang Budayawan Umar Kayam. Ia menyebut bahwa tradisi Halal bi Halal merupakan bentuk akulturasi antara agama Islam dan budaya Jawa. Penduduk Jawa yang mayoritasnya memeluk agama Islam, biasanya melakukan silaturahmi dan sungkem saat hari Raya Idul Fitri.
Makna sungkeman dalam tradisi Jawa ialah bersimpuh sambil mencium kedua telapak tangan orang yang lebih tua. Selain itu, sungkeman menyiratkan tanda penghormatan sekaligus permohonan maaf kepada orang tua. Dengan demikian, tradisi Jawa ini terus meluas sampai ke seluruh Nusantara.
Sementara itu, sejarawan lain mengungkapkan bahwa Halal bi Halal diperkenalkan oleh mantan presiden Republik Indonesia pada tahun 1946, Soekarno atau Bung Karno. Kala itu, Bung Karno menggelar acara di Yogyakarta yang mana kegiatan tersebut adalah bermaaf-maafan antara pejabat dan pegawai. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan ini akrab dikenal Halal bi Halal.
Gagasan Halal bi Halal dari sang proklamator pun dijadikan tradisi tahunan. Sampai semua instansi pemerintah mengadakan acara Halal bi Halal. Bahkan kerap kali tradisi ini mendatangkan kiai ataupun penceramah secara langsung untuk menyampaikan ceramah singkat.
Beberapa sejarawan mencoba untuk mencari istilah muasal Halal bi Halal dalam bahasa Arab. Namun ternyata hasilnya nihil. Meskipun kata perkata Halal bi Halal dapat diartikan dalam bahasa Arab, akan tetapi sejumlah pakar mengatakan susunan gramatikal dalam frasa tersebut salah. Sehingga istilah Halal bi Halal tidak ditemukan dalam bahasa Arab.
Kebanyakan orang meyakini arti Halal bi Halal yaitu saling menghalalkan perbuatan salah (kekhilafan) antarsesama. Oleh karena itu, Halal bi Halal selalu disertai dengan kegiatan maaf memaafkan.
Kini, tradisi Halal bi Halal tidak luntur tertinggal zaman. Tapi, kegiatan Halal bi Halal masih diperdebatkan oleh beberapa petinggi agama. Sebagian ulama menganggap tradisi ini bid’ah. Ulama lainnya menyebut sah-sah saja Halal bi Halal sebagai bentuk wujud rasa syukur dengan bersilaturahmi dan saling bermaafan.
Mengutip dari laman Utak Atik Otak, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Halal bi Halal bukanlah suatu ibadah yang wajib dilakukan dalam syariat Islam. Kegiatan budaya ini hanya sebagai tradisi sosial akan tetapi tidak bisa dianggap bid’ah.
Jadi, sebaiknya umat Muslim merayakan Idul Fitri tidak secara berlebihan. Dengan begitu, esensi ketakwaan dalam hari Fitrah tersebut dapat dirasakan.