Muslimahdaily - Alkisah di masa kekhalifahan Abbasiyyah, hidup sebuah keluarga kecil yang sangat sederhana. Seorang ibu dan anaknya yang masih kecil tinggal di sebuah gubuk seadanya. Mereka tak mampu secara ekonomi, tapi kasih sayang membuat hati mereka kaya.
Namun suatu hari, seorang pria garang mendatangi gubuk mereka. Ia berbadan besar lagi kekar, wajahnya merah padam, amarahnya nampak memuncak. Pria itu adalah si penagih hutang. Ia hendak menagih sejumlah uang yang pernah dipinjam keluarga si ibu.
Melihat pria penagih hutang datang, sang ibu segera lemas dan ketakutan. Ia belum memiliki uang untuk membayar hutang. Badannya pun lunglai, matanya sendu. Ia meminta perpanjangan waktu untuk melunasi hutang-hutangnya. Ia pasti akan melunasi hutang itu. Hanya saja, sekarang ini kondisinya belum memungkinkan.
Pria penagih hutang pun geram tak mendapat uang. Nada bicaranya tinggi. Ia memarahi si ibu itu tanpa sopan santun. Pria itu memang memberi penangguhan waktu. Namun sebelum pergi, sebuah pukulan sempat melayang ke arah si ibu yang lemah. Dengan kejam, pukulan itu menurutnya adalah peringatan agar si ibu segera melunasi hutangnya.
Sang ibu menangis. Namun ia tak melawan. Ia hanya diam saja dan menerima perlakuan buruk si penagih hutang. Sebelum anaknya melihat, si ibu segera mengusap air mata. Ia bangkit dan berusaha kembali tersenyum. Ia tak ingin anaknya menemukan raut duka di wajah ibunda. Biarlah putranya yang masih kecil itu bermain riang gembira.
Sejak hari itu, si ibu makin giat bekerja agar dapat melunasi hutangnya. Ia menambah jam berdagangnya di pasar dan meninggalkan anaknya seorang diri di rumah. Putranya pun menurut, ia bermain dan belajar di rumah sembari menunggu ibunda pulang dari pasar.
Ketika waktu perpanjangan telah tiba, pria penagih hutang datang kembali. Seperti biasa, wajahnya merah padam seperti baru saja disulut api, dahinya mengerut, alisnya meruncing. Kegarangan selalu nampak jelas dari wajahnya. Ia pun segera mengetuk pintu gubuk si ibu.
Namun ternyata anaknya lah yang membukakan pintu. Ia pun ketakutan melihat pria kekar nan garang bertamu. “Mana ibumu?!” pria itu segera bertanya dengan suara menggelegar.
“Ia sedang pergi ke pasar,” jawab si anak. Pria penagih hutang itu pun terdiam dan memperhatikan isi rumah. Si anak mulai ketakutan.
Lalu dari kejauhan nampak sosok ibunya berjalan terburu-buru. Ia pulang ke rumah dengan sangat tergesa karena tahu pria penagih hutang akan datang ke gubuknya. Namun sayangnya pria itu lebih dahulu sampai.
Begitu tiba di rumah dan melihat putranya bertatapan dengan pria garang itu, si ibu pun segera berlari dan memeluk anaknya. Hatinya begitu terluka menyangka anaknya telah dimarahi si penagih hutang.
“Jangan kau marahi anakku!” ujarnya dengan air mata berlinangan. Si ibu marah kepada pria penagih hutang karena telah membentak anaknya.
Melihat kondisi pilu ibu dan anak yang berpelukan itu, si pria kekar tersentuh hatinya. Ia pun heran dengan sikap si ibu yang berbeda dari biasa. “Mengapa sekarang kau memarahiku padahal aku tak memukul anakmu. Kemarin aku memukulmu dan kau tak marah sedikit pun,” tuturnya.
Dengan nafas tersekat dan nada suara serak, ibu itu pun menjawab, “Kemarin kau hanya melukai tubuhku. Sedangkan sekarang ini kau melukai hatiku,” ujarnya.
Ia mengibaratkan putranya dengan hatinya. Jika putranya dilukai barang sedikit, maka itu berarti hati si ibu pula yang terluka. Ia tak mempermasalahkan jika fisiknya terluka. Namun jika hatinya, yakni anaknya yang terluka, maka ia tak akan tinggal diam.
Mendengar jawaban si ibu, pria penagih hutang segera menciut. Ia begitu tersentuh dengan ketulusan kasih sayang sang ibu pada anaknya. Pria itu pun segera teringat dengan ibunya yang telah termakan usia. Pria itu pun pamit dan dengan ikhlas membebaskan ibu itu dari jeratan hutang.