Muslimahdaily - Menikah adalah untuk selamanya. Pasangan suami dan istri akan hidup berdua bukan untuk satu dua hari saja. Bayangkan jika hidup bersama seseorang yang pribadinya tidak kita sukai, hingga akhir hayat. Tentu tak ada yang menginginkannya.
Oleh karena itulah sangat penting untuk mengenal pasangan sebelum menikah. Lalu apakah proses mengenal tersebut adalah melalui pacaran? Islam telah mengatur segala kehidupan manusia termasuk proses menuju pernikahan. Adapun pacaran bukanlah bagian dari proses syar'i tersebut.
Dalam syariat Islam, proses mengenal calon pasangan disebut dengan ta'aruf. Istilah tersebut sudah tak asing lagi di kalangan pemuda pemudi muslim. Hanya saja, dalam prakteknya, proses tersebut masih sering kali jauh dari ajaran kitabullah dan sunah Rasulullah.
Berikut ini cara pelaksanaan ta'ruf yang sesuai dengan ajaran Rasulullah. Dengan cara tersebut, pengenalan terhadap calon pasangan secara lahir batin dapat dilakukan, tanpa melanggar batasan syar'i dan tanpa menodai kesucian hati.
1.Menggali Informasi
Carilah keterangan mengenai calon pasangan dari orang terdekatnya, baik kerabat maupun sahabat. Gali informasi dari mereka tentang segala hal yang ingin diketahui dari calon pasangan, baik sifatnya, tingkah lakunya, karakternya, dan lain sebagainya termasuk yang paling utama yakni bagaimana ia menjalankan agamanya. Mencari informasi ini dilakukan oleh semua pihak, baik pria yang mencari info tentang calon istrinya, dan wanita pula mencari tahu perihal calon suaminya.
Pihak yang dimintai keterangan pun wajib memberikan keterangan dengan objektif. Bahkan jika ada kejelekan atau aib, maka tak mengapa dikabarkan kepada pihak yang bertanya. Hal ini tidak termasuk ghibah dan justru mengantisipasi agar tak ada penyesalan antara suami dan istri di kemudian hari. Hal ini pula pernah dicontohkan oleh Rasulullah saat Fathimah binti Qais menerima lamaran dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm. Sang shahabiyyah pun bertanya perihal keduanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah pun kemudian memberikan nasihat kepada binti Qais dengan mengatakan hal sebenarnya tentang sosok keduanya meski itu adalah aib, “Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (suka memukul). Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid,” (HR. Muslim).
2.Bertanya melalui perantara
Jika menggali informasi masih kurang lengkap memenuhi segala keterangan yang dibutuhkan, maka diperbolehkan bertanya kepada calon pasangan. Namun pertanyaan tersebut disampaikan melalui perantara, demikian pula dengan jawabannya. Islam tidak mengajarkan proses bertanya langsung kepada pasangan kecuali dengan syarat dan kondisi tertentu – akan dijelaskan pada poin berikutnya.
Adapun pertanyaan kepada calon pasangan yang butuh jawaban langsung yakni perihal riwayat hidupnya, aktivitasnya, impiannya, hingga perihal visi misi rumah tangga yang ingin dibangun. Sang perantara bisa siapa saja yang dikenal atau melalui pasangan seorang teman. Misal, seorang pria hendak mencari tahu calon wanita yang akan dilamarnya, ia membuat sederet pertanyaan kemudian disampaikan kepada salah satu temannya yang telah berkeluarga. Temannya ini kemudian meminta bantuan istrinya untuk menyampaikan pertanyaan tersebut kepada sang wanita.
3.Boleh bertemu dengan syarat dan ketentuan berlaku
Jika ada tuntutan hajat yang sulit dipenuhi kecuali dengan bertemu, maka diizinkan mengadakan pertemuan dengan calon pasangan. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat keduanya bertemu, yakni; 1. Tidak berduaan atau berkhalwat, akan tetapi ajaklah pihak ketiga atau keempat, 2. Dipisahkan dengan hijab atau pembatas agar menghindari curi pandangan, 3. Tidak menikmati dan berlama-lama dengan percakapan tersebut, 4. Tidak mendayukan suara, terutama bagi wanita. Jika empat syarat ini tidak dipenuhi, maka setiap calon pasangan sebaiknya menghindari bertemu daripada terjerumus pada fitnah yang akan menodai proses suci sebuah pernikahan.
4.Hindari menelepon dan berkirim pesan
Hal ini sering kali menjadi godaan yang berat saat melakukan proses ta’aruf. Apalagi di era modern ini di mana gadget memiliki beragam aplikasi yang membuat komunikasi begitu mudah dan lancar. Karena itulah, godaan tersebut harus ditahan dan dihindari. Jika tidak, maka ditakutkan keduanya akan terjerumus pada fitnah yang berat. “Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf,” (QS. Al Ahzab ayat 32).
5.Nadhar
Nadhar (melihat) sebetulnya bukan bagian dari proses taaruf, akan tetapi setelahnya. Jika sepasang calon telah melakukan proses taaruf, maka hendaklah melakukan nadhar, yakni melihat calon pasangan secara fisik. Nadhar sangatlah dianjurkan oleh Rasulullah sebagaimana dalam banyak hadits. Salah satunya yakni hadits dari Al Mughirah bin Syu’bah. Saat itu ia akan tengah meminang seorang wanita. Rasulullah kemudian bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” Al Mughirah menjawab, “Belum, ya Rasulullah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua kelak,” (HR. An Nasa`i dan At Tirmidzi).
Demikian proses pra-nikah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah. Jika semua proses telah dilakulan, yakni ta’aruf dan nadhar telah dilakukan, maka khitbah atau lamaran dapat segera dilakukan untuk kemudian mengesahkannya dengan akad tanpa menunda waktu. Keduanya pun resmi menjadi pasangan suami istri.