Muslimahdaily - Indonesia, sebuah zamrud di khatulistiwa yang dimandikan sinar matahari hampir sepanjang tahun. Secara logika, penduduknya seharusnya memiliki kadar vitamin D yang optimal. Vitamin yang dijuluki "vitamin sinar matahari" ini krusial untuk kesehatan tulang, sistem kekebalan tubuh, dan berbagai fungsi vital lainnya.

Namun, sebuah ironi terungkap: banyak penelitian justru menunjukkan angka defisiensi dan insufisiensi (kadar di bawah optimal) vitamin D yang cukup mengkhawatirkan di kalangan masyarakat Indonesia. Sebuah studi pendahuluan di Jakarta Barat yang diterbitkan dalam Tarumanagara Medical Journal pada April 2023, misalnya, menemukan bahwa sekitar 60,6% subjek dewasa muda mengalami defisiensi vitamin D dan 33,3% mengalami insufisiensi. Terdengar aneh, bukan? Dengan matahari yang melimpah, bagaimana mungkin kita kekurangan vitamin sepenting ini?

Ternyata, ada beberapa faktor menarik yang dapat menjelaskan paradoks ini.

1. Gaya Hidup Modern: Terkurung di Dalam Ruangan dan "Anti-Matahari"

Meskipun matahari bersinar terik di luar, kebiasaan kita sehari-hari seringkali justru membatasi paparan sinar UVB—jenis sinar ultraviolet yang esensial bagi tubuh untuk memproduksi vitamin D di kulit. Sejak pagi hingga sore, sebagian besar waktu kita mungkin dihabiskan di dalam ruangan, baik itu di kantor, sekolah, maupun di rumah. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Amerta Nutrition (Jurnal Universitas Airlangga) pada Maret 2021 menyoroti bahwa semakin banyak paparan sinar matahari berkorelasi positif dengan kadar vitamin D. Namun, ketika akhirnya kita melangkah keluar, tak jarang kita mencari perlindungan di bawah naungan, menggunakan payung, topi lebar, atau mengenakan pakaian berlengan panjang dan celana panjang.

Upaya ini, walau baik untuk melindungi kulit dari dampak buruk sinar UVA dan menjaga kenyamanan, sayangnya juga secara signifikan menghalangi sintesis vitamin D. Studi lain yang dipublikasikan di TEMU ILMIAH NASIONAL PERSAGI (2023) juga mengindikasikan bahwa gaya hidup yang cenderung menghindari sinar matahari dan penggunaan pakaian tertutup menjadi salah satu penyebab kurangnya paparan.

2. Pola Makan yang Belum Optimal

Faktor kedua yang berkontribusi adalah pola makan modern. Asupan makanan yang kaya akan vitamin D, seperti ikan berlemak (salmon, sarden, makarel), kuning telur, dan hati sapi, mungkin belum menjadi menu rutin bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Beberapa penelitian, seperti yang dilaporkan dalam Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat (2023) pada kelompok usia 17-35 tahun, menunjukkan mayoritas responden memiliki asupan vitamin D yang kurang memadai.

Meskipun paparan sinar matahari adalah sumber utama, kontribusi vitamin D dari makanan juga memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan harian tubuh. Keterbatasan asupan ini memperbesar risiko defisiensi. Kementerian Kesehatan RI sendiri merekomendasikan asupan vitamin D harian sekitar 15 mikrogram (600 IU) untuk dewasa.

3. Polusi Udara sebagai Penghalang Tak Kasat Mata

Faktor ketiga yang tak boleh diabaikan, terutama di kota-kota besar, adalah meningkatnya tingkat polusi udara. Meskipun penelitian spesifik di Indonesia mengenai dampak langsung polusi terhadap sintesis vitamin D masih perlu digali lebih dalam, studi internasional menunjukkan bahwa partikel-partikel polutan di atmosfer dapat menyerap atau memantulkan sinar UVB sebelum mencapai permukaan kulit kita. Akibatnya, efektivitas paparan matahari dalam merangsang produksi vitamin D alami oleh tubuh menjadi berkurang, menambah tantangan bagi penduduk urban.

Dampak Kekurangan Vitamin D yang Mengintai

Lalu, apa konsekuensinya jika tubuh kita kekurangan "vitamin sinar matahari" ini dalam jangka panjang? Dilansir dari informasi yang dirilis oleh berbagai institusi kesehatan dan penelitian, termasuk yang sering dikutip oleh pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), defisiensi vitamin D dapat memicu berbagai masalah kesehatan serius.

Kondisi ini dapat menghambat pertumbuhan optimal, memicu penyakit tulang seperti osteoporosis, serta meningkatkan risiko timbulnya penyakit kardiovaskular, dislipidemia (gangguan lemak darah), diabetes, dan hipertensi. Berbagai studi juga mengaitkan kekurangan vitamin D dengan penurunan imunitas dan peningkatan risiko infeksi.

Sadar akan Kebutuhan, Meski Matahari Melimpah

Jadi, meskipun Indonesia dianugerahi limpahan sinar matahari, kita tidak boleh serta-merta merasa aman dari risiko kekurangan vitamin D. Gaya hidup, kebiasaan sehari-hari, pola makan, serta faktor lingkungan seperti polusi udara ternyata dapat menjadi penghalang signifikan bagi tubuh kita untuk mendapatkan asupan vitamin D yang optimal. Angka prevalensi defisiensi vitamin D di Indonesia yang dilaporkan dalam berbagai penelitian, berkisar antara 35% hingga lebih dari 90% pada kelompok tertentu (seperti yang diulas dalam salah satu artikel di jurnal Universitas Trisakti, AKTA Diurna Medica tahun 2023, yang menyebutkan rentang prevalensi 35,1% - 91,7%), menunjukkan keseriusan masalah ini.

Sudah saatnya kita lebih sadar dan proaktif, jangan sampai "matahari berlimpah" hanya menjadi pemandangan indah tanpa kita manfaatkan sepenuhnya untuk kesehatan. Memastikan paparan matahari yang cukup pada waktu yang tepat (umumnya sebelum pukul 10.00 pagi atau setelah pukul 15.00 sore selama 10-15 menit beberapa kali seminggu, dengan area kulit yang cukup terpapar), serta memperhatikan asupan nutrisi dan jika perlu berkonsultasi dengan tenaga medis mengenai suplementasi, adalah langkah bijak untuk menjaga kesehatan kita di negeri tropis ini.