Muslimahdaily - "Nggak usah ikut campur urusan orang lain." "Jangan sok suci, deh. Urus aja dosa masing-masing."
Kalimat-kalimat ini seringkali menjadi tameng untuk membenarkan sikap apatis terhadap kemungkaran yang terjadi di sekitar kita.
Padahal, Islam adalah agama komunal yang mengajarkan bahwa keselamatan satu individu terikat dengan keselamatan masyarakatnya. Membiarkan kemaksiatan merajalela tanpa ada yang peduli ibarat membiarkan seseorang melubangi kapal yang kita tumpangi bersama.
Kitab Tanbihul Ghafilin mengingatkan kita akan kewajiban yang sering dilupakan ini: Amar Ma'ruf Nahi Munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Ini bukanlah pilihan, melainkan sebuah kewajiban yang menentukan nasib sebuah komunitas.
Perumpamaan Kapal yang Bocor
Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam memberikan sebuah perumpamaan yang sangat cerdas untuk menjelaskan konsep ini. Beliau bersabda:
"Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang melanggarnya adalah seperti sekelompok orang yang berlayar dalam sebuah kapal. Sebagian mendapat tempat di bagian atas, dan sebagian lain di bagian bawah. Ketika orang-orang di bagian bawah butuh air, mereka harus melewati orang-orang di atas. Lalu mereka berkata, 'Bagaimana jika kita lubangi saja bagian kita ini (untuk mengambil air), sehingga kita tidak mengganggu orang di atas?'"
Nabi Shalallahu alaihi wassalam melanjutkan, "Jika orang-orang di atas membiarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan, maka mereka semua akan binasa (tenggelam). Dan jika mereka mencegahnya dengan tangan mereka, maka mereka akan selamat, dan semuanya akan selamat."
Perumpamaan ini sangat jelas, kita. Masyarakat kita adalah kapal itu. Kemaksiatan (korupsi, perzinaan, riba, ghibah, dll) adalah tindakan melubangi kapal. Jika kita yang merasa "baik-baik saja" di dek atas hanya diam dan berkata, "Itu urusan mereka," maka saat kapal itu tenggelam, kita semua akan ikut binasa. Azab Allah, jika turun karena kemaksiatan yang dibiarkan, tidak akan memilih-milih korbannya.
Tiga Tingkatan Mengubah Kemungkaran
Bagaimana cara kita "mencegah" mereka? Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam memberikan tiga tingkatan, sesuai kemampuan:
- Dengan Tangan (Kekuasaan): Ini adalah tugas utama para pemimpin dan pemegang kebijakan yang memiliki wewenang untuk mengubah sistem dan menegakkan aturan.
- Dengan Lisan (Nasihat): Ini adalah tugas para ulama, guru, orang tua, dan kita semua. Menasihati dengan hikmah, menulis konten positif, atau sekadar mengingatkan teman dengan cara yang baik.
- Dengan Hati (Penolakan Batin): Jika kita tidak memiliki kekuasaan atau lisan kita justru mendatangkan mudharat yang lebih besar, maka kewajiban minimal kita adalah membenci kemungkaran itu di dalam hati dan tidak rida dengannya. Dan inilah selemah-lemahnya iman.
Bukan Menjadi Polisi Moral, Tapi Menebar Cinta
Melakukan amar ma'ruf nahi mungkar bukan berarti kita menjadi polisi moral yang kasar dan gemar menghakimi. Abu Darda RA menasihatkan, "Siapa yang menasihati saudaranya secara terang-terangan, maka ia telah mempermalukannya. Dan siapa yang menasihatinya secara rahasia, maka ia telah menghiasinya."
Nasihat terbaik lahir dari rasa cinta dan kepedulian, bukan dari rasa superioritas. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan saudara kita dan "kapal" kita bersama, bukan untuk menunjukkan bahwa kita lebih saleh darinya.
Jadi, lain kali jika kita melihat sebuah kemungkaran, jangan buru-buru memalingkan muka. Ingatlah perumpamaan kapal yang bocor itu. Sebuah nasihat tulus yang kita sampaikan hari ini, bisa jadi adalah "tambalan" yang menyelamatkan kita semua dari "tenggelam" dalam murka Allah.