Muslimahdaily - Khitan biasanya sangat identik dilakukan oleh anak laki-laki dan sangat jarang yang membahas khitan pada perempuan. Khitan adalah proses menyunat kulup dari batang dzakar atau penis, sedangkan pada anak perempuan adalah menyunat bagi clitoral hood.
Mengutip dari laman Healthline, clitoral hood adalah lipatan kulit yang mengelilingi dan melindungi kelenjar klitoris. Seperti halnya labia, penutup klitoris memiliki berbagai bentuk, ukuran, dan warna.
Struktur klitoris sendiri ternyata sama dengan struktur penis pada pria. Menurut James S. Lowe BmedSci, BMBS,DM FRCPath, Peter G. Anderson DVM, PhD, dalam Histologi Manusia Stevens & Lowe, sama seperti penis, klitoris ditutupi oleh lapisan kulit tipis yang kaya dengan saraf sensorik. Bagian itulah yang akan disunat pada wanita.
Kembali pada hukum khitan bagi wanita, mengutip dari laman Rumah Fiqih Indonesia, Ustadzah Aini Aryani, Lc menjelaskan bahwa terdapat beberapa dalil yang menjadi dasar pensyariatan khitan secara umum. Di antaranya adalah Hadist riwayat Ahmad dan Baihaqi.
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita.”
Dari Abi Hurairah, berkata bahwa Rasulullah, “Nabi Ibrahim berkhitan saat berusia 80 tahun dengan qadur / kapak." (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Aisyah, Rasulullah bersabda, “Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah” (HR. Muslim).
Dari dalil-dalil di atas, khitan bagi anak perempuan jelas disyariatkan. Namun, jika ditinjau dari hukumnya, terdapat perbedaan pendapat di anatara para ulama fiqih. Beberapa mengatakan wajib, sebagian mengatakan tidak wajib dan ada juga yang memandang itu adalah pemuliaan atas perempuan.
Berikut pandangan dari beberapa mazhab:
1. Mazhab Hanafi
Mahzab ini sepakat bahwa khitan tidak diwajibkan bagi perempuan. Mayoritas ulama dari mazhab ini memandangnya sebagai kemuliaan bagi perempuan.
Ibnul Humam, salah satu ulama mazhab Hanafi dalam kitab Fathul Qadir menuliskan pendapatnya sebagai berikut:
"Khitan itu memotong sebagian dari zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan). Hukumnya Sunnah bagi laki-laki, dan bagi perempuan merupakan sebuah kemuliaan."
Ulama lainnya, Az-Zaila’i dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut:
"Tidaklah sunnah bagi perempuan berkhitan, tetapi sebuah kemuliaan bagi laki-laki, karena dapat menambah keintiman dalam berhubungan suami istri."
2. Mazhab Maliki
Al Qarafi, salah satu ulama di kalangan mazhab Maliki menuliskan dalam kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai berikut:
"Makruh bagi Imam Malik mengkhitan anak pada hari kelahiran ataupun hari ke tujuh, Karena itu perbuatannya orang-orang Yahudi. Dan membatasi usia khitan ketika anak berumur 7 tahun, sebagaimana diperintah untuk mereka shalat dari umur tujuh tahun hingga sepuluh tahun. Ibnu Hubaib mengatakan, berkhitan bagi laki-laki sunnah, sedangkan bagi perempuan merupakan kemuliaan."
Al-Hathab Ar-Ru'aini juga menuliskan dalam kitabnya Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil sebagai berikut :
"Adapun khitan bagi perempuan, Ibnu ‘Arafah mengatakan bahwa itu adalah syari’at yang mulia."
3. Mazhab Syafi’i
Madzhab ini memandang bahwa berkhitan bagi laki-laki dan perempuan itu hukumnya wajib. Sebagaimana penuturan di bawah ini:
An-Nawawi salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Minhaj At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiin fi Al-Fiqh menuliskan sebagai berikut:
"Wajib bagi perempuan berkhitan, dengan memotong sebagian daging kecil yang berada di bagian atas kemaluan, dan bagi laki-laki dengan menghilangkan sebagian kulit penutup bagian depan dari kemaluan, dan disunnahkan bagi laki-laki untuk menyegerakan khitan di umur tujuh tahun."
Zakaria Al-Anshari dalam kitabnya Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut:
"Dengan memotong sebagian daging kecil-yang berada di bagian atas farji, letaknya diatas tempat keluarnya urin, dan bentuknya menyerupai jengger ayam-, itu hukumnya afdhal (utama)."
Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhafatu Al Muhtaj menuliskan sebagai berikut:
"Diwajibkan juga berkhitan bagi perempuan dan laki-laki."
Al Khatib asy-Syirbini dalam kitab Mughni Al Muhtaj menuliskan sebagai berikut:
"Diwajibkan berkhitan bagi perempuan, dengan menghilangkan sebagian daging kecil di atas kemaluannya."
4. Mazhab Hambali
Adapun madzhab Hambali, membedakan hukum berkhitan antara laki-laki dan perempuan. Wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi perempuan.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni menuliskan sebagai berikut:
"Diwajibkan bagi laki-laki berkhitan, sedangkan bagi perempuan tidaklah diwajibkan, melainkan hanya sebuah kemuliaan bagi yang mengerjakannya."
Demikian pemaparan para ulama dari empat madzhab. Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib atas laki-laki maupun perempuan. Sedangkan madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali tidak memandang khitan atas perempuan dari sisi hukum taklifi, melainkan dari sisi afdhaliyyah (keutamaan). Ketiga madzhab tersebut mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan tindakan pemuliaan Islam atas perempuan.
Wallahu a’lam.