Kasus Meiliana, Bagaimana Hukum Mengeraskan Adzan dalam Islam?

Ilustrasi Ilustrasi

Muslimahdaily - Beberapa hari terakhir masyarakat Indonesia dihebohkan berita Meiliana, warga Tanjung Balai, Medan, yang divonis 18 bulan penjara karena mengeluhkan kerasnya suara adzan. Kasus Meiliana tersebut kemudian membuat Menteri Agama RI, Luqman Hakim membeberkan aturan adzan yang dikeluarkan kementrian. Bagaimana sebetulnya hukum Islam mengatur tentang mengeraskan suara adzan?

Kementerian Agama memiliki aturan yang jelas tentang pengeras suara masjid yang tercantum dalam Hukum Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Islam Nomor KEP/D/101/1978. Isinya sangat rinci, di antaranya menyebutkan bahwa,

“Pengeras suara luar digunakan untuk adzan sebagai penanda waktu salat. Pengeras suara dalam digunakan untuk doa dengan syarat tidak meninggikan suara. Mengutamakan suara yang merdu dan fasih serta tidak meninggikan suara,” dilansir kumparan.com.

Bolehkah Mengeraskan Suara Adzan?

Dalam Islam, sejatinya, adzan memanglah harus keras dengan ukuran dapat didengar banyak orang di sekitar masjid. Hal ini sebagaimana hadits dari Urwah bin Zubair, ia mengatakan bahwa seorang wanita dari Bani Najjar pernah berkata, “Dulu rumahku adalah bangunan yang paling tinggi di sekitar masjid. Dan Bilal melakukan adzan subuh di sana,” (HR. Abu Dawud).

Muadzin Rasulullah, Bilal biasa melakukan adzan di tempat tinggi dengan suara yang keras. Hal ini agar orang-orang di sekitar masjid dapat mendengarnya dan mengetahui akan masuknya waktu shalat. Hal ini pula yang diperintahkan Rasulullah. Sebagaimana hadits yang datang dari Abu Sa’id Al Khudri.

Ia berkata bahwasanya, Rasulullah bersabda, “Aku lihat kamu suka kambing dan lembah (pengembalaan). Jika kamu sedang menggembala kambingmu atau berada di lembah, lalu kamu mengumandangkan adzan shalat, maka keraskanlah suaramu. Karena tidak ada yang mendengar suara mu’adzin, baik manusia, jin atau apapun dia, kecuali akan menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Al Bukhari).

Bahkan untuk iqamah saja, Ibnu Umar dapat mendengar suara adzan meski ia tengah berada di Baqi. Adapun jaraknya sekitar 500 meter dari masjid dari Masjid Nabawi.

Dari Nafi’, ia berkata, “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mendengar iqamah ketika beliau berada di Baqi’. Lalu beliau mempercepat menuju masjid. (HR. Malik).

Maka jelaslah bahwasanya para shahabat di masa Rasulullah terbiasa mengeraskan adzan ketika waktu shalat tiba. Dengannya, orang-orang di sekitar masjid dapat mendengarnya. Dalam Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Kamal bin As Sayid Salim menyebutkan bahwa salah satu syarat adzan yakni diperdengarkan kepada orang-orang yang tidak berada di tempat muadzin.

“Adzan yang dikumandangkan oleh muadzin haruslah terdengar oleh orang yang tidak berada di tempat sang muadzin melakukan adzan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara mengeraskan suara atau dengan alat pengerasa suara.”

Bagaimana Adzan di Negeri Multikultural?

Indonesia memang berbeda dengan Arab Saudi, berbeda dengan kondisi Makkah dan Madinah, di masa kini ataupun di masa Rasulullah. Ragam etis dan agama mewarnai negeri ini. Namun dapatkah toleransi menjadi alasan untuk merendahkan suara adzan?

Dikutip dari Republika, Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, DR. Iswandi Syahputra, menjelaskan perihal antropologi adzan di sejumlah negara. Menurutnya, adzan memiliki kehormatan yang harus dilindungi dan memiliki konteks sosial religius. Adzan, sebagaimana lonceng gereja, bersifat publik dan bukan privat.

“Artikel Fannes (2012) berjudul Sounds in Changing Context The Muslim Call to Prayer in Vienna. Fannes menilai azan sebagai cultural sounds, sama dengan lonceng gereja di Wina. Karena itu suara azan memiliki kehormatan dan harus dilindungi.”

Dalam konteks azan, lanjut Iswandi, umat muslim minoritas di Eropa justru sangat toleran. Mereka paham dengan baik kapan Fiqh mayoritas dipakai dan di mana fiqh minoritas diterapkan.

“Relasi penganut agama mayoritas dan minoritas itu yang saya sebut hukum umum toleransi: mayoritas lindungi minoritas, minoritas hormati mayoritas. Jadi hukum toleransi tidak buta dan membabi buta, sama rasa sama rata. Di sinilah seharusnya kaum cerdik pandai memberi pencerahan dan pemerintah berpihak pada keadilan dan kebenaran pengetahuan, bukan kekuasaan.”

 

Wallahu a’lam.

Leave a Comment